Pelestarian
lingkungan dalam istilah arab biasa disebut dengan ri’ayah al bi’ah (رعاية
البيئة). Bagaimana konsep
pelestarian lingkungan tidak pernah kita temukan secara khusus dibahas dalam
kitab-kitab salaf atau klasik, namun jika
berusaha mencari tahu akan kita temukan cukup banyak dalam beberapa
kitab kontemporer.
Kata al-bi’ah
dalam bahasa indonesia diartikan dengan lingkungan yakni segala sesuatu di
sekitar kita baik berupa dunia biotik (bernyawa) maupun abiotik
(tidak bernyawa). Ahli lingkungan membagi lingkungan hidup dalam tiga
golongan, yakni :
1. Lingkungan fisik, yaitu segala
sesuatu di sekitar kita yang berupa benda mati;
2. Lingkungan biologis, yaitu segala
sesuatu di sekitar kita yang tergolong organisme hidup;
3. Lingkungan sosial, adalah manusia
(masyarakat yang ada di sekitarnya).
Istilah “lingkungan” (bi’ah) mencakup keseluruhan kondisi dan hal-hal yang bisa
berpengaruh terhadap perkembangan hidup organisme. Kesatuan dan saling
ketergantungan semua yang hidup dalam sistem biologi dan hubungannya dengan
lingkungan disebut ekosistem. Ketergantungan antara organisme hidup dengan
sumber-sumber hidupnya, seperti air dan makanan, menentukan keberlangsungan
keberadaannya. Oleh karena itu, lingkungan mencakup kesatuan yang saling
terkait, baik lingkungan fisik berupa keadaan alam, seperti air, udara, tanah,
gunung, hutan, laut dan sungai maupun organisme yang hidup di dalamnya, seperti
hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Definisi lingkungan sendiri adalah bagian dari ekosistem hidup yang
mengalami evolusi, baik evolusi secara alamiah maupun evolusi secara kimiawi
yang disebabkan oleh campur tangan makhluk hidup yang sedang bertumbuh kembang
demi mempertahankan kelangsungan hidupnya di muka bumi. Dari definisi
tersebut dapat kita pahami, betapa pentingnya lingkungan bagi manusia, yang
merupakan satu-satunya makhluk hidup yang tercipta dengan dibekali akal untuk
berfikir. Baik dan buruknya keberlangsungan sebuah kehidupan sepenuhnya
bergantung pada manusia.
Jika kita mengkaji
lebih dalam lagi maka akan kita temukan pula konsep menjaga lingkungan dalam
islam yang termaktub dalam kitab qowa’id al-fiqh yaitu konsep maslahah.
Secara umum pengertian maslahah adalah setiap
perkara yang dibutuhkan oleh komunitas manusia untuk mensejahterakan kehidupan
sesuai prinsip terbaik. Sedangkan mafsadah adalah setiap perkara yang
dapat membahayakan atau mengancam keberlangsungan hidup manusia, baik secara
individual maupun komunitas. Adapun maslahah secara garis besar mengacu kepada 5 prinsip:
1. hifdzu ad-din (melindungi
agama),
seperti disyari’atkannya membunuh orang yang murtad;
2. hifdzu al-nafsi (melindungi
jiwa), seperti disyari’atkannya qishos (ekseskusi mati) bagi orang yang
sengaja melakukan pembunuhan;
3. hifdzu al-nasl (melindungi
keturunan), seperti disyari’atkannya rajam bagi pelaku perzinaan;
4. hifdzu al-aqli (melindungi
akal), seperti disyari’atkannya hukuman cambuk bagi peminum khamr atau
sejenisnya; dan hifdzu al-mal (melindungi harta), seperti
disyari’atkannya hukuman potong tangan bagi pencuri;
Sebagian ulama’ menambahkan hifdzu al-‘irdh (melindungi kehormatan),
seperti disyari’atkannya hukuman cambuk bagi pelaku qodzaf (penuduhan
zina). Lantas jika menjaga lingkungan memiliki tujuan demi mempertahankan keberlangsungan
hidup, bukankah itu tercakup dalam prinsip yang ke-2 yakni hifdzu an-nafs
? Dan
diantara cara melestarikan lingkungan adalah senantiasa menjaga kebersihan.
Berbicara tentang konsep
menjaga kebersihan, sebenarnya sudah ada dalam islam. Banyak hadits Nabi sallahu
‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hal itu:
“Jagalah kebersihan, sesungguhnya islam adalah agama yang bersih”. (H.R. Ibnu Hibban)
“Menjaga kebersihan merupakan (sikap) untuk (mencapai) iman”. (H.R.
At-Thobaroni)
Dalam kitab Ihya’ ‘ulum ad-din karya Imam Al-Ghozali juga disebutkan hadist terkait keutamaan menjaga kebersihan, yang artinya :
Rasulullah SAW bersabda : “Agama (islam) dibangun berdasarkan
kebersihan”.
Dan masih banyak
lagi hadits-hadits lain yang secara shorih menjelaskan betapa pentingnya
hidup bersih.
Mari kita lihat
saja dalam kitab-kitab fiqh, memotong kuku hukumnya adalah sunah, melumuri diri
dengan perkara-perkara najis hukumnya haram, ber-istinja’ hukumnya wajib
meskipun cukup menggunakan batu tetapi alangkah baiknya jika dilengkapi dengan air,
bilamana ingin cukup dengan salah satunya maka air lebih utama dibandingkan
menggunakan batu. Kiranya semua itu cukup untuk menununjukkan kepada kita
semua, bagaimana islam secara tegas memperingatkan kepada kita akan pentingnya
menjaga kebersihan.
Nah, kita sebagai
santri yang lebih tahu syari’at seharusnya memperhatikan betul dan mempratikkan
gaya hidup bersih. Dimulai dari diri kita sendiri dengan membuang sampah pada
tempatnya dan rajin piket demi kebersihan lingkungan sekitar. Sayangnya, semua
itu masih saja terasa sulit dan berat untuk kita lakukan, iya tak lain karena faktor
rasa malas yang kita biarkan tumbuh di dalam benak diri kita. Padahal
seringkali kita diingatkan bukan hanya berbentuk peringatan berupa perkataan,
bahkan berupa tulisan yang ditempel hampir di setiap dinding-dinding komplek
khususnya di pondok sekitar Sarang, yakni jargon yang berbunyi “HIDUP
BERSIH ADALAH CERMIN KEPRIBADIAN SANTRI.” Oleh karena itu marilah kita
sadari, bahwa rasa nyaman dalam menuntut ilmu adalah jika lingkungan sekitar
kita bersih.
Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak...
Jangan mengambil apapun kecuali foto...
Jangan membunuh apapun kecuali waktu...
(Pecinta Alam)
وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِها وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (الاعراف : 56)
Wallahu a’lam…
0 comments:
Post a Comment