Pendiri Ponpes
MUS Sarang Rembang
Makam Serut |
Beliau dilahirkan di Sarang pada awal
abad ke-14 yaitu tahun 1301 H. Beliau
tumbuh dalam asuhan, kasih sayang dan didikan kedua orang tuanya, belajar
qiro’ah dan dasar-dasar ilmu agama pada sang ayah yaitu KH. Syuaib bin
Abdurrozaq dan Masyayikh Sarang,
khususnya KH.Umar bin Harun dan Kyai
Murtadho bin Muntaha. Beliau sangat tekun dalam menuntut ilmu, selalu
menyibukkan diri dengan terbangun dan beribadah di malam hari, berpuasa di
siang hari, menjauhi segala godaan dan
hawa nafsu. Beliau melaksanakan seluruhnya sepanjang hidup dan tidak pernah menyia-nyiakan waktunya, bahkan
hal-hal tersebut beliau salurkan ke arah perkembangan jiwa melalui ilmu dan pengetahuan.
Menginjak usia 20 tahun beliau pergi
ke Makkah dan menetap di sana selama dua tahun yaitu tahun 1322 H. sampai tahun
1324 H. Beliau belajar pada ulama' Tanah Haram tentang ilmu-ilmu teologi di
antaranya ilmu fiqh, ushul, tauhid, qiro’ah, nahwu, shorof dll.. Beliau pernah
menetap (mulazamah) pada Al-Alim Sayyid Umar Syatho yang dikenal dengan nama
Sayyid Syatho. Di pertengahan masa belajar, beliau meminta restu pada gurunya
untuk masuk ke salah satu thoriqot, namun tidak direstui, justru sang guru
memberi kitab Al Yawaqit, Al Jawahir, kitab karya Abdul Wahab As-Sya'rony dan
kitab risalah Imam sufi Imam Qusyairy. Lalu Sayyid Syatho berkata : "
Pelajari saja kitab-kitab seperti ini ! " dan Sayyid Syatho memberi
ijazah khusus untuk kegiatan sehari-hari.
Suatu saat seusai KH. Ahmad menunaikan
ibadah haji,beliau berniat menyusuri jalanan Makkah sampai Jedah dengan
berjalan kaki. Karena pada saat itu,biaya perjalanan Makkah - Jedah dengan
menaiki mobil sebesar Rp.70,- jika dengan naik unta,biayanya hanya Rp. 7,-
sedangkan jika dengan berjalan kaki,ongkos maksimal hanya Rp. 2,-. Mendengar
hal itu, seseorang yang kaya raya bernama H. Musthofa (kakek KH. Musthofa
Bisyri / Gus Mus) bergegas menyewa mobil untuk menjemput KH. Ahmad. Ia pun
menyusuri jalan hingga akhirnya ia menemukan beliau ketika akan sampai di kota
Jedah. Lalu H. Musthofa mengajak beliau kembali ke Makkah dan mengajak thowaf
bersama serta meminta beliau agar berkenan mendoakannya. Setelah itu, ia
memberikan uang Rp. 70,- kepada beliau untuk biaya transport menyewa mobil dan
Rp. 10,- sebagai uang saku. Namun KH. Ahmad memilih menaiki unta yang biayanya
hanya Rp. 7,- dan sisanya (Rp. 73,-) beliau gunakan sebagai modal dakwah di
tanah air.
Setelah kembali ke kampung halaman,
beliau meneruskan belajar pada kyai-kyai Jawa. Kemudian beliau pergi ke Tebu
Ireng Jombang dan menetap (mulazamah) pada Kyai Hasyim Asy'ari. Kyai Hasyim
sangat memperhatikan perkembangan beliau dengan memberi petuah-petuah melebihi
teman-temannya. Beliau meminta kepada gurunya agar bersedia memuqobalah (studi
banding) kitab-kitab yang beliau baca pada para masyayikh Makkah al Mukarromah
khususnya Syekh Mahfudz Termas .
KH. Ahmad bin Syu’aib mempersunting
putri K. Abdul Lathif dari daerah Lasem, namun tidak dikaruniai anak, akhirnya
beliau menthalaq istrinya. Setelah tiga tahun kemudian beliau beristri yang
kedua kalinya dengan Nyai Khodijah binti H. Utsman Tuban, beliau adalah salah
satu keturunan K. Ma’ruf yang ‘Alim dan terkenal, beliau dikaruniai anak yang
banyak, diantaranya Nyai Mahmudah (istri KH. Zubair Dahlan), KH. Abdul Jalil,
Nyai Hamidah (istri K. Ridlwan), KH. Abdul Hamid, Muhammadah (istri K. Zubaidi
Tuban), A. Shomad, dan KH. Abdurrochim. Mereka itulah putra-putra beliau yang
sampai umur dewasa dan mempunyai keturunan kecuali K. Abdul Jalil, beliau tidak
mempunyai anak.
Setelah kembali dan bermukim di
Sarang, beliau bersedia mengajar para santri di pondok. Di samping selalu
beribadah sehingga doa-doanya pun sering terkabul (mujabudda’wah), Beliau
sangat tadhorru’ pada Allah khususnya di
malam gelap gulita dan senantiasa berpuasa semenjak beliau menetap di tanah
kelahirannya. Beliau selalu menyambung puasa bulan Rajab, Sya'ban dengan puasa
Romadlon kecuali satu tahun sebelum beliau wafat sebab menderita sakit parah.
Beliau selalu tahajjud dan sholat malam, terutama pada tiga bulan tersebut.
Ketika bulan Romadlon tiba, malam-malam
beliau gunakan untuk melakukan sholat sunah, sholat tasbih dan dzikir-dzikir
yang dianjurkan syara’ (masyru’ah). Kendati selalu beribadah dan mengajar, namun beliau masih sempat bekerja
dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Beliau juga pemrakarsa pembuat garam pertama kali di
Sarang. Beliau makan dari hasil keringatnya sendiri dan berkah pekerjaannya
tampak mengalir pada anak cucu beliau.
Pada tahun 1369 KH.Ahmad berkunjung ke
kota makkah dan madinah untuk menunaikan ibadah haji dengan mengajak 6 orang,
yang tak lain adalah putra-putra dan cucunya. semua itu dihasilkan dari biaya
beliau sendiri dan dari barokah beliau, karena pada saat itu memang KH.ahmad
terkenal sebagai Kyai yang kaya raya. Keenam orang tersebut adalah, Nyai
Khodijah (istri KH.Ahmad), KH.Abdul Jalil (putra), KH.Abdul Hamid (putra), KH.
Abdurrochim (putra), Nyai Rofi’ah (istri KH.Abdul Hamid) dan KH.Maimoen Zubair
(cucu dari saudari beliau). Beliau bertujuh memulai perjalanan hajinya melalui
jalur laut hingga membutuhkan waktu berbulan-bulan. Banyak lika liku rintangan
yang mereka hadapi saat mengarungi samudera. Hempasan angin dan badai mereka
lalui dengan penuh sabar serta mengharap ridlo Allah dengan memenuhi
panggilannya. Konon, waktu itu sempart terjadi badai besar yang menghalau
mereka selama mengarungi samudera. Namun atas izin dan pertolongan Allah mereka
dapat melaluinya hingga akhirnya mereka semua dapat sampai di kota suci Makkah
dengan selamat.
Setibanya di daratan, bukan berarti
mereka lolos dari rintangan dan hambatan. Selama di Makkah lagi-lagi mereka
mendapat rintangan berupa hujan salju. Namun hal itu tetap tidak menyurutkan
niat mereka untuk menyempurnakan ibadah haji dengan menjalankan rukun-rukun dan
kewajiban-kewajiban secara syar’i.
Beliau adalah insan yang dermawan dan
berjiwa besar dalam meniti jalan kebaikan. Beliau juga lah yang mewaqofkan
tanah MGS kepada KH.Ali Masyfu’ untuk dijadikan sebuah madrasah.
KH. Ahmad bin Syu’aib sempat mengalami
sakit panas pada bulan Jumadal Ula menjelang hari wafatnya. Keadaan beliau
terus menerus demikian sampai sakit beliau menjadi parah pada hari kesepuluh
bulan Rajab hingga akhirnya beliau wafat di kediaman beliau malam selasa 22
Rajab 1386 H. dalam kisaran usia 85 tahun. Sepeninggal ,KH. Abdurrrochim
bersama kakaknya KH.Abdul Jalil berusaha untuk menggantikan posisi ayahandanya
sebagai pengasuh PP.MUS. Dengan dibantu oleh adik iparnya,KH. Ma’ruf Zubair
mereka bertiga berjuang untuk menyebarluaskan syari’at Islam dengan menyiapkan
kader- kader yang kelak akan menjadi panutan di daerahnya masing-masing. Semoga
Allah selalu melimpahkan rahmatnya dengan luas dan mempertemukan beliau dengan
orang-orang sholih di surga, Amin ya Rabbal Alamin.
0 comments:
Post a Comment