Monday, May 1, 2017

KH. Ghozali Bin Lanah

Kelahiran dan Masa Kecil

Sejarah pesantren Sarang tidak bisa lepas dari peranan besar Mu’assis (perintis) yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren Sarang, namnya harum semerbak tiada habisnya. Beliau adalah putra sulung dari pasangan KH. Maulana atau yang biasa disapa Mbah Lanah dengan Nyai Saliyah.

Beliau merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, yaitu : Saliyo, Hasan dan Sinto. Lahir pada tahun 1184 H./1770 M. dengan nama Saliyo dan sekarang dikenal dengan nama KH. Ghozali bin Lanah. Beliau berganti nama Ghozali setelah kepulangannya dari tanah haram, Makkah, sebagi bentuk tafa’ulan kepada hujjatul islam Imam Ghozali.

Sebagaimana pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, beliau banyak mewarisi sifat yang dimiliki ayahndanya dalam ketaatan beribadah dan kecintaannya terhadap ilmu agama.

Sekilas Mengenai Mbah Lanah

Tokoh yang kerap disapa Mbah Lanah ini merupakan tokoh yang berjuang bersama pasukan Pangeran Diponegoro guna membebaskan tanah Jawa dari cengkeraman para penjajah. Namun setelah mendengar kabar bahwa Pangeran Diponegoro berhasil dikalahkan oleh tentara Belanda dengan menggunakan siasat liciknya, Mbah Lanah beralih untuk memfokuskan diri dalam dakwah menegakkan agama Allah melalui metode pengajaran agama dan tidak lagi mengangkat senjata memerangi musuh secara lahiriyyah.

Karena terus dikejar oleh para penjajah, akhirnya Mbah Lanah hijrah dari Madura ke Sarang yang awalnya tidak banyak dihuni oleh penduduk. Sesampainya di Sarang, dengan telaten beliau mengawali kiprahnya dengan mengajarkan ilmu agama islam kepada masyarakat setempat. Berkat tangan dingin serta ketulusan hati beliau dalam waktu yang singkat Mbah Lanah mampu menarik perhatian penduduk sekitar untuk mempelajari ilmu agama secara mendalam.

Perjalana Intelektual

Semasa remaja Saliyo menimba ilmu di pesantren Belitung, Kalipang (sebuah desa yang terletak 3,5 Km di sebelah barat Ds. Karangmangu) yang merupakan pondok pesantren pertama yang ada di kecamatan Sarang yang kala itu diasuh oleh KH. Hasan Mursyidin. Konon, desa tersebut dinamakan Belitung karena orang pertama yang berdakwah di situ bersal dari dari daerah Bangka Belitung, Sumatra Barat, hingga pada akhirnya ulama tersebut dikenal dengan sebutan wali Belitung yang kemudian nama beliau diabadikan menjadi nama desa.

Perkembangan islam di Belitung mencapai puncaknya pada masa KH. Abdullah Sajad, hanya saja sejarah kehidupan beliau tidak diketahui secara rinci dan pasti.

Di beltung inilah Saliyo menimba dan mendalami berbagai fan ilmu agama, namun ada satu fan yang menjadi favorit beliau pada waktu itu, yakni fan Nahwu – sebelum berpindah ke Makam Agung, Tuban untuk memperdalam ilmu Fiqih.

Pindah ke Makam Agung Tuban

Ada sebuah cerita unik yang mengantarkan beliau pindah ke Makam Agung, asuhan KH. Ma’ruf – yakni suatu ketika ada seorang santri dari Makam Agung Tubanyang bernama Jawahir, sedang singgah di Pondok Belitung. Menurut satu riwayat, Jawahir pada waktu itu hendak pulang ke kampung halannya di desa Leran, Rembang. Riwayat yang lain menyebutkan bahwa Jawahir hendak berangkat ke podok setelah beberapa hari pulang. Pada intinya, di tengah perjalanan Jawahir menyempatkan diri untuk singgah di pondok Belitung dan menginap satu kamar dengan Saliyo. Jawahir adalah santri yang dikenal mahir dalam ilmu Fiqih.

Di tengah persinggahannya di Belitung, Jawahir dan Saliyo berdiskusi mengenai ilmu Nahwu dan Fiqih. Sebelum berdiskusi, mereka membuat kesepakatan bahwa siapa diantara mereka yang terlihat unggul akan dijadikan sebagai guru. Diskusipun dimulai dengan seru dan saling menghormati, namun dikarenakan mereka sama-sama cemerlang dalam berdiskusi, tidak ada yang dianggap menang maupun kalah. Akhirnya merka membuat kesepakatan baru, yakni bertukar tempat dalam menimba ilmu, Jawahir nyantri di Belitung kepada KH Hasan Mursyidin sedangkan Saliyo belajar ke Makam Agung Tuban di bawah bimbingan KH. Ma’ruf.

Dalam waktu yang cukup lama beliau (Saliyo) menimba ilmu di Makam Agung, yakni sampai beliau berumur 42 tahun, sebuah upaya mengagumkan dalam rangka memperkaya wawasan intelektual, mengingat rentetan usia yang begitu panjang, akan tetapi beliau mampu menerobos dinding-dinding jahiliyyah dan menciptakan cahaya ilmu bersinar terang yang sanggup menyinari gelap gulitanya qalbu.

Menikah dengan Adik Ipar KH. Ma’ruf

Suatu ketika KH. Ma’ruf berkeinginan untuk menguji kemampuan santrinya dengan memberikan beberapa pertanyaan. Kiyai Ma’ruf berjanji barang siapa yang bisa menjawab pertanyaan beliau kelak akan dijadikan sebagai adik iparnya. Diantara sekian banyak pertanyaan yang diajukan ada sebuah pertanyaan tentang fan nahwu mengenai lafadz idza (إذا). Namun ketika pertanyaan nahwu tersebut disampaikan, ternyata tidak ada stupun santri yang mampu menjawabnya. Di tengah keheningan itu tiba-tiba ada seorang santri yang berkata: “Nuwun sewu Yai, wonten santri ingkang saget jawab, naminipun Saliyo ingkang dipun laqobi Tumpul” (Ma’af Yai, ada santri yang mampu menjawab, namnaya adalah Saliyo yang biasa disapa Tumpul). Karena fan Nahwu adalah fan yang disukai dan dikuasai oleh Saliyo selama di pesantren Belitung, maka iapun bisa dengan mudah menjawabnya.

Keluarga

Sesuai dengan janji yang telah diucapkan, Saliyopun akhirnya dinikahkan dengan adik ipar KH. M’ruf yang bernama Pinang. Beliau adalah adik dari istri KH. Ma’ruf yang bernama Nyai Mondoliko, putri KH. Muhdhor Sidoarjo. Dari pernikahan itu Saliyo dikaruniai 4 putri dan 2 putra, mereka adalah :
1.    Nyai Hj. Sa’idah (istri KH. Ahmad bin Syu’aib)
2.    Nyai Hj. Syamsiroh (istri KH. Umar bin Harun)
3.    Nyai Hj. Syari’ah (istri KH. Thoyyib)
4.    Nyai Hj. Shobiroh (istri KH. Syamsuri)
5.    KH. Abdurro’uf (tidak punya anak)
6.    KH. Fathurrohman

Meneruskan perjuangan Ayahanda

Setelah sekian lam menimba ilmu di Mkam Agung, Tuban akhirnya beliau diizinkan pulang ke kampung halamannya guna menyebarkan ilmu yang telah beliau terima selam nyantri. Dengan perlahan beliau memulai dakwahnya dengan menggelar pengajian-pengajian, sehingga suat ketika ayahandanya dipanggil oleh Sang Pencipta.

Medirikan Pondok Pesantren

Awalnya santri beliau hanya berasal dari daerah setempat saja. Lambat laun keharuman nama beliau mulai tercium sampai ke luar daerah, sehingga banyak yang nyantri kepada beliau yang menuntut beliau untuk menyediakan tempat singgah bagi para santri tersebut. Dan alhamdulillah dengan izin Allah, beliau dapat memulai membangun sebuah musholla dengan bantuan seorang dermawan yang bernama Utsman atu yang dikenal dengan Mbah Saman, beliau bersedia tanah wakafan, dan kelak menjadi tempat dibangunnya musholla tersebut (sekarang Masjid MIS).

Menimba Ilmu di Makkah

Guna memenuhi kewajibannya sebagai seorang muslim, KH. Ghozali berangkat ke Makkah untuk melaksanakan rukun islam yang kelima, sekitar pertengahan abad 13 H. Namun sayang ketika sampai di Makkah jamaah haji telah selesai melaksanakan Wukuf di Arafah, sehingga untuk melaksanakan ibadah Haji beliau harus menunggu wukuf di Arafah tahun berikutnya.

Kesempatan ini tidak beliau sia-siakan begitu saja. Masa penantiannya selama satu tahun beliau manfaatkan untuk menimba ilmu dari para ulama Makkah. Di sana beliau juga sempat menulis Tafsir Jalalain. Hingga kini manuskrip tulisan itu masih tersimpan rapi di PP MIS. Belia memang tergolong penulis yang aktif, beliau menulis sendiri kitab-kitab yang beliau peljari, seperti Tafsir Jalalain , Fathul Mu’in, Bulughul Marom dan lain-lain. Diantara kitab-kitab itu yang masih tersimpan hingga kini adalah kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi, yang selesai beliau tulis tanggal 6 Syawal 1280 H./15 Maret 1864 M.

Maziyyah (Keistimewaan)

Selain tersohor dalam kealimannya beliau juga tersohor sebagai seorang wali Allah yang memiliki banyak maziyyah. Diceritakan suatu hari kala camat Sarang selesai melakukan SIDAK (inspeksi mendadak) di desa kecamatan Sarang, termasuk Karangmangu, ia naik kuda kearah barat untuk pulang. Namun di tengah perjalanan ia melihat pancaran sinar yang sangat terang memenuhi jalan, sehingga ia tidak dapat melewati jalan karena sinar tersebut. Ia pun memutuskan untuk turun dari kudanya dan mendekati sumber sinar tersebut, ia terkejut setelah mengetahui bahwa sinar itu berasal dari wajah KH. Ghozali yang sedang dudu di pinggi jalan sambil membuat tambang. Di lain kesempatan pak camat sowan kepada KH. Ghozali dan berjanji akan taat beribadah. Sebagai wujud penghormatan ia kemudian mewakafkan langgar di Sarang.

Kiprah beliau sebagai tokoh agama dan masyarakat sangatlah disegani. Di tangan beliaulah pesantren Sarang lahir. Dalam waktu yang relatif singkat perkembangan pesantren Sarang melaju dengan begitu cepat dan pesat.
Demikianlah Allah menjadikan hamba-hambaNya yang shalih mampu memberikan energi yang postif ke segala penjuru dunia.  

Wafat

Maqbarah Setumbun telah menjadi saksi bisu atas kepergian seorang murabbi. Pada tahun 1275 H. atau bertepatan 1859 M., beliau dipanggil menghadap Allah dalam usia 91 tahun. Kepergian beliau menumpahkan linangan air mata segenap makhluk, mengingat segudang jasa yang begitu melimpah sebagai kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan untuk salamanya.


Semoga semua yang telah beliau upayakan dapat ditiru oleh segenap keluarga, santri dan semua masyarakat. Berharap keberkahan-keberkahan yang ada bisa mengiringi semangat juang kita untuk menegakkan dan membela agama Allah dengan sebenar-benarnya.
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net

0 comments:

Post a Comment