Kelahiran dan
Masa Kecil
Sejarah pesantren Sarang tidak bisa
lepas dari peranan besar Mu’assis (perintis) yang menjadi cikal bakal
berdirinya pondok pesantren Sarang, namnya harum semerbak tiada habisnya. Beliau
adalah putra sulung dari pasangan KH. Maulana atau yang biasa disapa Mbah Lanah
dengan Nyai Saliyah.
Beliau merupakan anak pertama dari tiga bersaudara,
yaitu : Saliyo, Hasan dan Sinto. Lahir pada tahun 1184 H./1770 M. dengan nama
Saliyo dan sekarang dikenal dengan nama KH. Ghozali bin Lanah. Beliau berganti
nama Ghozali setelah kepulangannya dari tanah haram, Makkah, sebagi bentuk tafa’ulan
kepada hujjatul islam Imam Ghozali.
Sebagaimana pepatah “Buah jatuh tak jauh
dari pohonnya”, beliau banyak mewarisi sifat yang dimiliki ayahndanya dalam
ketaatan beribadah dan kecintaannya terhadap ilmu agama.
Sekilas
Mengenai Mbah Lanah
Tokoh yang kerap disapa Mbah Lanah ini
merupakan tokoh yang berjuang bersama pasukan Pangeran Diponegoro guna membebaskan
tanah Jawa dari cengkeraman para penjajah. Namun setelah mendengar kabar bahwa
Pangeran Diponegoro berhasil dikalahkan oleh tentara Belanda dengan menggunakan
siasat liciknya, Mbah Lanah beralih untuk memfokuskan diri dalam dakwah menegakkan
agama Allah melalui metode pengajaran agama dan tidak lagi mengangkat senjata
memerangi musuh secara lahiriyyah.
Karena terus dikejar oleh para penjajah,
akhirnya Mbah Lanah hijrah dari Madura ke Sarang yang awalnya tidak banyak
dihuni oleh penduduk. Sesampainya di Sarang, dengan telaten beliau mengawali
kiprahnya dengan mengajarkan ilmu agama islam kepada masyarakat setempat. Berkat
tangan dingin serta ketulusan hati beliau dalam waktu yang singkat Mbah Lanah mampu
menarik perhatian penduduk sekitar untuk mempelajari ilmu agama secara
mendalam.
Perjalana Intelektual
Semasa remaja Saliyo menimba ilmu di
pesantren Belitung, Kalipang (sebuah desa yang terletak
3,5 Km di
sebelah barat Ds. Karangmangu) yang merupakan pondok pesantren pertama yang ada
di kecamatan Sarang yang kala itu diasuh oleh KH. Hasan Mursyidin. Konon, desa
tersebut dinamakan Belitung karena orang pertama yang berdakwah di situ bersal
dari dari daerah Bangka Belitung, Sumatra Barat, hingga pada akhirnya ulama
tersebut dikenal dengan sebutan wali Belitung yang kemudian nama beliau
diabadikan menjadi nama desa.

Perkembangan islam di Belitung mencapai
puncaknya pada masa KH. Abdullah Sajad, hanya saja sejarah kehidupan beliau
tidak diketahui secara rinci dan pasti.
Di beltung inilah Saliyo menimba dan mendalami
berbagai fan ilmu agama, namun ada satu fan yang menjadi favorit beliau pada
waktu itu, yakni fan Nahwu – sebelum berpindah ke Makam Agung, Tuban untuk
memperdalam ilmu Fiqih.
Pindah ke
Makam Agung Tuban
Ada sebuah cerita unik yang mengantarkan
beliau pindah ke Makam Agung, asuhan KH. Ma’ruf – yakni suatu ketika ada
seorang santri dari Makam Agung Tubanyang bernama Jawahir, sedang singgah di
Pondok Belitung. Menurut satu riwayat, Jawahir pada waktu itu hendak pulang ke
kampung halannya di desa Leran, Rembang. Riwayat yang lain menyebutkan bahwa Jawahir
hendak berangkat ke podok setelah beberapa hari pulang. Pada intinya, di tengah
perjalanan Jawahir menyempatkan diri untuk singgah di pondok Belitung dan
menginap satu kamar dengan Saliyo. Jawahir adalah santri yang dikenal mahir
dalam ilmu Fiqih.
Di tengah persinggahannya di Belitung,
Jawahir dan Saliyo berdiskusi mengenai ilmu Nahwu dan Fiqih. Sebelum berdiskusi,
mereka membuat kesepakatan bahwa siapa diantara mereka yang terlihat unggul
akan dijadikan sebagai guru. Diskusipun dimulai dengan seru dan saling
menghormati, namun dikarenakan mereka sama-sama cemerlang dalam berdiskusi,
tidak ada yang dianggap menang maupun kalah. Akhirnya merka membuat kesepakatan
baru, yakni bertukar tempat dalam menimba ilmu, Jawahir nyantri di Belitung
kepada KH Hasan Mursyidin sedangkan Saliyo belajar ke Makam Agung Tuban di
bawah bimbingan KH. Ma’ruf.
Dalam waktu yang cukup lama beliau (Saliyo)
menimba ilmu di Makam Agung, yakni sampai beliau berumur 42 tahun, sebuah upaya
mengagumkan dalam rangka memperkaya wawasan intelektual, mengingat rentetan
usia yang begitu panjang, akan tetapi beliau mampu menerobos dinding-dinding
jahiliyyah dan menciptakan cahaya ilmu bersinar terang yang sanggup menyinari
gelap gulitanya qalbu.
Menikah dengan
Adik Ipar KH. Ma’ruf
Suatu ketika KH. Ma’ruf berkeinginan
untuk menguji kemampuan santrinya dengan memberikan beberapa pertanyaan. Kiyai
Ma’ruf berjanji barang siapa yang bisa menjawab pertanyaan beliau kelak akan
dijadikan sebagai adik iparnya. Diantara sekian banyak pertanyaan yang diajukan
ada sebuah pertanyaan tentang fan nahwu mengenai lafadz idza (إذا). Namun ketika
pertanyaan nahwu tersebut disampaikan, ternyata tidak ada stupun santri yang
mampu menjawabnya. Di tengah keheningan itu tiba-tiba ada seorang santri yang
berkata: “Nuwun sewu Yai, wonten santri ingkang saget jawab, naminipun
Saliyo ingkang dipun laqobi Tumpul” (Ma’af Yai, ada santri yang mampu
menjawab, namnaya adalah Saliyo yang biasa disapa Tumpul). Karena fan Nahwu
adalah fan yang disukai dan dikuasai oleh Saliyo selama di pesantren Belitung,
maka iapun bisa dengan mudah menjawabnya.
Keluarga
Sesuai dengan janji yang telah
diucapkan, Saliyopun akhirnya dinikahkan dengan adik ipar KH. M’ruf yang bernama
Pinang. Beliau adalah adik dari istri KH. Ma’ruf yang bernama Nyai Mondoliko,
putri KH. Muhdhor Sidoarjo. Dari pernikahan itu Saliyo dikaruniai 4 putri dan 2
putra, mereka adalah :
1. Nyai Hj. Sa’idah (istri KH. Ahmad bin Syu’aib)
2. Nyai Hj. Syamsiroh (istri KH. Umar bin Harun)
3. Nyai Hj. Syari’ah (istri KH. Thoyyib)
4. Nyai Hj. Shobiroh (istri KH. Syamsuri)
5. KH. Abdurro’uf (tidak punya anak)
6. KH. Fathurrohman
Meneruskan
perjuangan Ayahanda
Setelah sekian lam menimba ilmu di Mkam
Agung, Tuban akhirnya beliau diizinkan pulang ke kampung halamannya guna
menyebarkan ilmu yang telah beliau terima selam nyantri. Dengan perlahan beliau
memulai dakwahnya dengan menggelar pengajian-pengajian, sehingga suat ketika
ayahandanya dipanggil oleh Sang Pencipta.
Medirikan Pondok
Pesantren
Awalnya santri beliau hanya berasal dari
daerah setempat saja. Lambat laun keharuman nama beliau mulai tercium sampai ke
luar daerah, sehingga banyak yang nyantri kepada beliau yang menuntut beliau
untuk menyediakan tempat singgah bagi para santri tersebut. Dan alhamdulillah
dengan izin Allah, beliau dapat memulai membangun sebuah musholla dengan
bantuan seorang dermawan yang bernama Utsman atu yang dikenal dengan Mbah Saman,
beliau bersedia tanah wakafan, dan kelak menjadi tempat dibangunnya musholla
tersebut (sekarang Masjid MIS).
Menimba Ilmu
di Makkah
Guna memenuhi kewajibannya sebagai
seorang muslim, KH. Ghozali berangkat ke Makkah untuk melaksanakan rukun islam
yang kelima, sekitar pertengahan abad 13 H. Namun sayang ketika sampai di
Makkah jamaah haji telah selesai melaksanakan Wukuf di Arafah, sehingga untuk
melaksanakan ibadah Haji beliau harus menunggu wukuf di Arafah tahun
berikutnya.
Kesempatan ini tidak beliau sia-siakan
begitu saja. Masa penantiannya selama satu tahun beliau manfaatkan untuk
menimba ilmu dari para ulama Makkah. Di sana beliau juga sempat menulis Tafsir
Jalalain. Hingga kini manuskrip tulisan itu masih tersimpan rapi di PP MIS. Belia
memang tergolong penulis yang aktif, beliau menulis sendiri kitab-kitab yang
beliau peljari, seperti Tafsir Jalalain , Fathul Mu’in, Bulughul Marom dan
lain-lain. Diantara kitab-kitab itu yang masih tersimpan hingga kini adalah
kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi, yang selesai beliau tulis tanggal 6 Syawal 1280 H./15
Maret 1864 M.
Maziyyah (Keistimewaan)
Selain tersohor dalam kealimannya beliau
juga tersohor sebagai seorang wali Allah yang memiliki banyak maziyyah. Diceritakan
suatu hari kala camat Sarang selesai melakukan SIDAK (inspeksi mendadak) di
desa kecamatan Sarang, termasuk Karangmangu, ia naik kuda kearah barat untuk
pulang. Namun di tengah perjalanan ia melihat pancaran sinar yang sangat terang
memenuhi jalan, sehingga ia tidak dapat melewati jalan karena sinar tersebut. Ia
pun memutuskan untuk turun dari kudanya dan mendekati sumber sinar tersebut, ia
terkejut setelah mengetahui bahwa sinar itu berasal dari wajah KH. Ghozali yang
sedang dudu di pinggi jalan sambil membuat tambang. Di lain kesempatan pak
camat sowan kepada KH. Ghozali dan berjanji akan taat beribadah. Sebagai wujud
penghormatan ia kemudian mewakafkan langgar di Sarang.
Kiprah beliau sebagai tokoh agama dan
masyarakat sangatlah disegani. Di tangan beliaulah pesantren Sarang lahir. Dalam
waktu yang relatif singkat perkembangan pesantren Sarang melaju dengan begitu
cepat dan pesat.
Demikianlah Allah menjadikan hamba-hambaNya
yang shalih mampu memberikan energi yang postif ke segala penjuru dunia.
Wafat
Maqbarah Setumbun telah menjadi saksi
bisu atas kepergian seorang murabbi. Pada tahun 1275 H. atau bertepatan 1859
M., beliau dipanggil menghadap Allah dalam usia 91 tahun. Kepergian beliau
menumpahkan linangan air mata segenap makhluk, mengingat segudang jasa yang
begitu melimpah sebagai kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan untuk
salamanya.
Semoga semua yang telah beliau upayakan
dapat ditiru oleh segenap keluarga, santri dan semua masyarakat. Berharap keberkahan-keberkahan
yang ada bisa mengiringi semangat juang kita untuk menegakkan dan membela agama
Allah dengan sebenar-benarnya.
0 comments:
Post a Comment